Sabtu, 03 Oktober 2015

makalah spondilitis



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif yang disebabkan oleh mikrobakterium tuberkulosa. Spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai penyakit Pott atau paraplegi Poot. Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia terbanyak setelah trauma, dan banyak dijumpai di Negara berkembang.
Tuberkulosis tulang dan sendi 50% merupakan spondilitis tuberkulosa. Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20 tahun. Sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1. Di Indonesia tercatat 70% spondilitis tuberkulosis dari seluruh tuberkulosis tulang yang terbanyak di daerah Ujung Pandang. Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial ekonomi rendah.
Seseorang yang menderita spondilitis akan mengalami kelemahan bahkan kelumpuhan atau paling kurang mengalami kelemahan tulang, dimana dampak tersebut akan mempengaruhi aktifitas klien, baik sebagai individu maupun masyarakat.. Perawat berperan penting dalam mengidentifikasikan masalah-masalah dan mampu mengambil keputusan secara kritis menangani masalah tersebut serta mampu berkolaborasi dengan tim kesehatan yang lain untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang optimal.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana anatomi dan fisiologi musculoskeletal dan tulang belakang?
2.      Apa definisi penyakit spondilitis TB?
3.      Apa etiologi penyakit spondilitis TB?
4.      Bagaimana prognosis spondilitis TB?
5.      Bagaimana patofisiologi spondilitis TB?
6.      Apa saja klasifikasi penyakit spondilitis TB?
7.      Apa saja manifestasi klinis penyakit spondilitis TB?
8.      Apa saja komplikasi spondilitis TB?
9.      Bagaimana penatalaksanaan penyakit spondilitis TB?
10.  Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan spondilitis TB

1.3 Tujuan
1.      mengetahui anatomi dan fisiologi musculoskeletal dan tulang belakang.
2.      mengetahui dan memahami definisi spondilitis TB.
3.      mengetahui dan memahami etiologi spondilitis TB.
4.      mengetahui dan memahami prognosis spondilitis TB.
5.      mengetahui dan memahami patofisiologi spondilitis TB.
6.      mengetahui dan memahami klasifikasi spondilitis TB.
7.      mengetahui dan memahami manifestasi klinis spondilitis TB.
8.      mengetahui dan memahami komplikasi spondilitis TB.
9.      mengetahui dan memahami penatalaksanaan spondilitis TB.
10.  mengetahui dan memahami asuhan keperawatan klien dengan spondilitis TB.

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI  DAN FISIOLOGI
Sistem muskuloskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan berperan  dalam pergerakan. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon,  ligoment, bursa dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur tersebut.
·         Tulang
Yaitu jaringan ikat yang keras, yang zat-zat intersekulernya keras, terutama  mengandung banyak mineral yang mengandung zat perekat dan zat kapur.
Fungsi jaringan tulang :
a) Menjaga berdirinya tubuh
b) Membentuk rongga untuk menyimpan (melindungi) organ-organ yang      halus
c) Membentuk persendian dan sebagai tempat melekatnya ligamen dan otot.

·         Sendi
Sendi adalah pertemuan dua buah tulang atau beberapa tulang dari kerangka, tulang ini dipadukan dengan berbagai cara, misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen tendon, fasia atau otot.
Ada tiga tipe sendi, yaitu :
1)      Sendi Fibrosa (Sinar throida)
Merupakan sendi yang tidak dapat bergerak. Misalnya : sendi tulang gerigi, sendi tibia dan fibula inferior
2)      Sendi Kartiloginosa (amphiar throida)
Merupakan sendi yang sedikit bergerak. Misalnya : sendi simfisis pubis, sendi manubrium sterni dan karpus sterni
3)      Sendi Sinovial (diar thyroidal) 
Merupakan sendi yang dapat bergerak dengan bebas. Misalnya : sendi putar (sendi panggul dan bahu), sendikondiloid (pergelangan kaki dan tangan), sendi engsel (sendi siku dan lutut), sendi berporos / sendi putar (ulna, radius sejajar dan radius menyilang) dan sendi pelana / sendi timbal balik (sendi pergelangan tangan).

·         Otot
suatu organ/alat yang  memungkinkan tubuh dapat bergerak, ini  adalah suatu sifat penting bagi organisme, sebagian besar otot tubuh ini melekat pada kerangka dalam suatu letak yang tertentu. Jadi otot, khususnya otot kerangka merupakan sebuah alat yang menguasai gerak aktif dan memelihara sikap tubuh. Dalam keadaanistirahat keadaannya tidak kendur sama sekali tetapi mempunyai ketegangan sedikit yang disebut tanus. Pada masing-masing organ berlainan tergantung pada umur, jenis kelamin dan keadaan tubuh.
Fungsi gerak tanus otot adalah :
a) Memelihara sikap dan posisi tubuh
b) Pada otot dinding perut berguna untuk menahan rongga perut
c) Pada otot-otot dinding perut pembuluh darah berguna untuk menahan tekanan darah.
* Otot tungkai atas (otot pada paha), mempunyai pembungkus yang sangat  kuat dan dibagi atas dua golongan, yaitu :
a) Otot Abduktor, terdiri dari :
1.Muskulus abduktor maldarus sebelah dalam
2.Muskulus abduktor brevis sebelah tengah
3.Muskulus abduktor longus sebelah luar

b) Otot ekstensor (Quadriseps femaris) otot berkepala empat
Otot ini merupakan otot terbesar, terdiri dari :
1.Muskulus rektus femoris
2.Muskulus vastus lateralis eksternal
3.Muskulus vastus medialis internal
4.Muskulus vastus inter medial.

Anatomi dan Fisiologi Tulang Belakang
Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah stuktur lentur yang terbentuk oleh sejumlah tulang yang disebut dengan ruas tulang belakang dimana berhubungan kokoh satu sama lain, tetapi tetap dapat menghasilkan gerakan terbatas satu sama lain.. Diantara tiap dua ruas tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan. Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa dapat mencapai 57 sampai 67 sentimeter. Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah tulang-tulang terpisah dan 9 ruas sisanya bergabung membentuk 2 tulang (Price C. Evelyn, 2002, hlm 56 dan Watson Roger, 2002, hlm 156).
Bagian dari ruas tulang belakang meliputi :
a.       Vetebra servikalis (tulang leher) ada 7 ruas
Ketujuh vertebra servikalis merupakan vertebra terkecil dan dapat dengan mudah dikenali karena proseksus tranversusnya mengandung foramina untuk tempat lewatnya arteri vertebralis.
Ruas pertama vertebra servikalis disebut atlas yang memungkinkan kepala untuk menganguk. Ruas kedua disebut prosesus odontoid (aksis) yang memungkinkan kepala untuk berputar kekiri dan kekanan. Ruas ketujuh mempunyai taju yan disebut prosesus Prominan.
b.      Vertebra torakalis (tulang punggung) terdiri dari 12 ruas
Kedua belas vertebra torakalis lebih besar dari vertebra servikalis dan ukurannya semakin besar dari atas ke bawah, pada bagian dataran sendi sebelah atas, bawah, kiri, dan kanan membentuk persendian dari tulang iga.
c.       Vertebra lumbalis (tulang pinggang) terdiri dari 5 ruas
Kelima vertebra lumbalis merupakan vertebra paling besar dan tidak mempunyai segi untuk berartikulasi dengan iga. Prosesus spinosusnya besar dan kuat dan merupakan perlekatan otot.
d.      Vertebra sakralis (tulang kelangkangan) terdiri dari 5 ruas
Kelima vertebralis sakralis bergabung menjadi satu tulang besar yang disebut sacrum. Di samping kiri dan kanannya terdapat lubang-lubang kecil 5 buah yang disebut foramen sakralis. Os sacrum menjadi dinding bagian tulang belakang dari rongga panggul.
e.       Vertebra koksigilis (tulang ekor) terdiri dari 4 ruas
Tulang koksiges merupakan tulang kecil berbentuk segitiga yang terdiri dari rongga panggul, dapat bergerak sedikit karena membentuk persendian dengan sakrum (Watson Roger, 2002, hlm 158-163 dan Syaifuddin, 1997, hlm 21-22).
Secara  anatomis  setiap  ruas  tulang  belakang  akan  terdiri  dari  dua bagian :

1.  Bagian depan
Bagian ini struktur utamanya adalah badan tulang belakang (corpus vertebrae). Bagian ini fungsi  utamanya  adalah  untuk  menyangga  berat  badan.  Di  antara  dua  korpus  vertebra yang  berdekatan  dihubungkan  oleh  struktur  yang  disebut  diskus  intervertebralis  yang bentuknya  seperti  cakram,  konsistensinya  kenyal  dan  berfungsi  sebagai  peredam  kejut (shock absorber). 

2.  Bagian belakang
Bagian belakang dari ruas tulang belakang ini fungsinya untuk :
Ø   Memungkinkan  terjadinya  pergerakan  tulang  belakang  itu  sendiri.  Hal  ini dimungkinkan oleh karena di bagian ini terdapat dua persendian.
Ø   Fungsi  perlindungan,  oleh  karena  bagian  ini  bentuknya  seperti  cincin  dari  tulang yang  amat  kuat  dimana  di  dalam  lubang  di  tengahnya  terletak  sumsum  tulang belakang (medulla spinalis/spinal cord).
Ø   Fungsi  stabilisasi.  Karena  fungsi  tulang  belakang  untuk  manusia  adalah  sangat penting,  maka  fungsi  stabilisasi  ini  juga  penting  sekali.Fungsi  ini  didapat  oleh kuatnya  persendian  di  bagian  belakang  yang  diperkuat  oleh  adanya  ligamen  dan otot-otot  yang  sangat  kuat.  Kedua  struktur  terakhir  ini  menghubungkan  tulang belakang  baik  dari  ruas  ke  ruas  yang  berdekatan  maupun  sepanjang  tulang belakang mulai dari servikal sampai kogsigeal.

Vaskularisasi kolumna vertebralis
Ø   Arteria spinalis yang mengantar darah kepada vertebra, adalah cabang dari :
Ø  Arteria vertebralis dan arteria servikalis ascendens di leher
Ø  Arteria interkostalis posterior di daerah thorakal
Ø  Arteria subkostalis dan arteria lumbalis di abdomen
Ø  Arteria iliolumbalis dan arteria sakralis lateralis
Ø  Arteria spinalis  memasuki  foramen  intervertebralis dan  bercabang  menjadi cabang akhir dan cabang  radikular.  Beberapa  dari  cabang-cabang  ini  beranastomosis  dengan  arteri-arteri medulla spinalis.
Ø  Vena  spinalis  membentuk  pleksus  vena  yang  meluas  sepanjang  kolumna  vertebralis,  baik  di sebelah dalam (pleksus venosi vertebralis profundus) dan juga di sebelah luar (pleksus venosi vertebralis  superficialis)  kanalis  vertebralis.  Vena  basivertebralis  terletak  dalam  korpus vertebra
B. Definisi Spondilitis TB
Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstra pulmonal yang bersifat kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia (Tandiyo, 2010).
Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus ditempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan, bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott. (pengantar ilmu bedah ortopedi). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.

C. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium fricanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Bakteri ini bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar 2-4 μm.
Mycobacterium tuberculosis bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.
Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertular flu.  Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yg cukup lama dan intensif dengan sumber penyakit (penular).  Menurut Mayoclinic, seseorang yg kesehatan fisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehari selama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi.  Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaitu waktu yg diperlukan dari mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Bakteri TB akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapi dalam tempat yg lembab, gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidup selama beberapa jam.  Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun.
D. Prognosis
Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit menahun dan apabila dapat sembuh secara spontan akan memberikan cacat pembengkokan pada tulang punggung. Dengan jalan radikal operatif, penyakit ini dapat sembuh dalam waktu singkat sekitar 6 bulan (Tachdjian, 2005).
Prognosis dari spondilitis tuberkulosa bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan ada tidaknya komplikasi neurologis. Diagnosis sedini mungkin dan  pengobatan yang tepat, prognosisnya baik walaupun tanpa operasi. Penyakit dapat kambuh apabila pengobatan tidak teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat karena terjadi resistensi terhadap pengobatan (Lindsay, 2008).
Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan saraf lebih baik sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosis biasanya kurang baik. Apabila paraplegia disebabkan oleh mielitis tuberkulosa prognosisnya ad functionam juga buruk (Lindsay, 2008).
E. Patofisiologi
Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Penyebaran terjadi secara hematogen, bakteri berkembang biak umumnya di tempat aliran darah yg menyebabkan bakteri berkumpul banyak (ujung pembuluh). Terutama di tulang belakang, di sekitar tulang thorakal (dada) dan lumbal (pinggang) kuman bersarang. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah (Alfarisi, 2011). Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea (Qittun, 2008).
Terbentuknya abses dan badan tulang belakang yg hancur, bisa menyebabkan tulang belakang jadi kolaps dan miring ke arah depan. Kedua hal ini bisa menyebabkan penekanan syaraf-syaraf sekitar tulang belakang yg mengurus tungkai bawah, sehingga gejalanya bisa terasa kesemutan dan timbul rasa baal bahkan bisa sampai kelumpuhan. Badan tulang belakang yg kolaps dan miring ke depan menyebabkan tulang belakang dapat diraba dan menonjol di belakang dan nyeri bila tertekan, sering sebut sebagai gibbus. Bahaya yg terberat adalah kelumpuhan tungkai bawah, karena penekanan batang syaraf di tulang belakang yg dapat disertai lumpuhnya syaraf yg mengurus organ yg lain, seperti saluran kencing dan anus (saluran pembuangan).
F. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal empat bentuk spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
perjalanan penyakit spondilitis TB ada lima stadium menurut kumar, yaitu :
1.Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk oloni yang berlangsung selama 6 – 8 minggu. Kedaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak – anak umumnya pada daerah sentral vertebrata.

2.Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjai destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6 minggu.
3.Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masih, kolaps vertebra yang terbentuk masa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat berebentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama disebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4.Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II : terdapa kelemahan pada anggota gerak bawah tai penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktifitas penderita serta hipestesia atau anestesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris ,disertai gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegi atau pott paraplegia dapat terjadi suara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravetbral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif atau sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tubrkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vesikuler vertebra. Derajat I – III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang masif di depan (Savant, 2007).
G. Manifestasi Klinis
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut, kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan refleks babinski bilateral (Hidalgo, 2006).
Manifestasi klinis lainnya pada spondilitis TB yaitu:
a.    Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
b.    Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.
c.     Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
d.    Deformitas pada punggung (gibbus)
e.     Pembengkakan setempat (abses)
f.     Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan:
·         Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
·         Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai dan adanya batas defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal
H.  Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1.    Pott’s paraplegia
a.       Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan saraf.
b.      Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
2.   Ruptur abses paravertebra
a.       Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis.
b.      Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay, 2008).
3.    Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
a.          Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat.
b.         Uji mantoux positif tuberkulosis.
c.          Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.
d.         Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
e.          Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.
f.          Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.
g.         Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).
h.         Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
i.        Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi menghasilkan negatif palsu pada penderita dengan alergi.
j.        Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada fragmen DNA dan amplifikasi menggunakan DNA polimerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang diidentifikasi dengan gel.
          2. Pemeriksaan radiologis
a)      Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru. Abses dingin tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk spindle.
b)      Pemeriksaan foto dengan zat kontras.
c)      Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus vertebra, penyempitan diskus intervertebralis, dan mungkin ditemukan adanya massa abses paravertebral.
d)     Pemeriksaan mielografi.
e)      CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
ir
reguler, skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang.
f)       MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang belakang serta menunjukkan adanya penekanan saraf (Lauerman, 2006).
J. Penatalaksanaan
1.Terapi Konservatif
a)         Berupa istirahat di tempat tidur untuk mencegah paraplegia dan pemberian tuberkulostatik.
b)         Dengan memberikan corset yang mencegah gerak vertebrae/membatasi gerak vertebrae. Corset tadi dapat dibikin dari gips, dari kulit/plastik, dengan corset tadi pasien dapat duduk/berjalan sehingga tidak memerlukan perawatan di rumah sakit namun tetap di kontrol.
2.Terapi Operatif
a)         Bedah Kostotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa / kortikospongiosa.
b)      Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis bertendensi untuk bertambah berat, terutama pada anak. Tindakan operatif berupa fusi posterior atau operasi radikal (Graham, 2007).



























BAB III
SKENARIO KASUS

Kasus:
Tn. I (21 Tahun) beragama islam, lahir pada tanggal 11 Juni 1992 dan belum menikah masuk ruang rawat pada tanggal 24 April 2013 dengan diagnosa medis spondilitis tuberculosis pada vertebra torakal IV hingga lumbal I. selama pengkajian sumber informasi berasal dari klien, keluarga klien (Ayah dan  ibu klien) serta rekam medis klien.
Klien memiliki riwayat tuberculosis paru pada tahun 2007 dan  menjalani pengobatan dengan OAT 9 bulan namun tidak tuntas (putus obat sekitar 7 atau 8 bulan). Kemudian sekitar 3 tahun lalu sudah muncul pembengkakkan kelenjar getah bening hingga mengeluarkan nanah (disekitar leher). Sejak itu klien sakit-sakitan namun tidak pernah berobat ke RS. Kemudian sekitar 3 tahun lalu klien jatuh disekolah, dan langsung tidak dapat berjalan selama 1 tahun. Selama itu klien hanya beraktivitas dirumah dengan bantuan keluarga. Setelah itu lama kelamaan terjadi pembesaran skrotum/orchitis (infeksi sekunder TB yang metastase hingga ke saluran reproduksi).
Pembesaran sempat pecah dan mengeluarkan darah, namun kembali membesar dan lama kelamaan terasa nyeri. Jarak kurang lebih 3 bulan kemudian mulai muncul benjolan di tulang belakang. Pada mulanya kecil dan tidak terlalu mengganggu sehingga klien dan keluarga tidak melakukan apa-apa. Tapi berangsur-angsur tonjolan semakin besar hingga membuat tubuh klien melengkung. Meski begitu klien dan keluarga belum  memeriksakannya ke dokter/RS, namun hanya meminum obat ramuan cina. Hingga akhirnya klien merasa sangat nyeri dibagian tonjolan tersebut saat digerakkan  maupun hanya disentuh, sakit bertambah ketika dibawa berjalan. Sekarang rasa nyeri hampir dirasakan setiap waktu dengan skala 2-4 dan masih bisa ditahan. Klien memiliki riwayat merokok sejak kelas 2 SMP hingga 2 SMA. Klien tinggal dipesantren (Santri) sejak SMP.
Saat dilakukan pengkajian klien menunjukkan status mental/tingkat kesadaran composmentis (CM). reaksi pupil baik, klien tidak memakai alat bantu pendengaran dan penglihatan. Klien mampu makan sendiri sesuai dengan porsi yang diberikan diruangan,klien tidak ada gangguan  muntah dan mual, klien tidak memiliki alergi terhadap makanan tertentu, klien makan 3x per hari, berat badan klien 47 kg dengan tinggi badan 167 cm. klien mampu dalam beradaptasi dan sangat menerima kondisinya, Klien mengatakan memikirkan penyakit yang dideritanya namun cukup mampu mengatasi emosinya, klien mengatakan cemas dengan tindakan operasi yang akan dilakukan karena merupakan pertama kali bagi klien.
klien cukup mandiri dalam beraktivitas dengan keadaan tulang yang mengalami skoliosis dan kifosis, namun aktivitas klien lebih banyak dihabiskan dengan duduk di kursi atau tempat tidur karena klien tidak terlalu kuat untuk berdiri lama, klien sering merasa kesemutaan pada kedua ekstremitas bawah. Klien tidak mengalami masalah kesulitan tidur, namun posisi tidur tidak mampu telentang sepenuhnya, biasanya punggung harus disangga oleh bantal atau klien tidur dengan posisi miring atau duduk. Berdasarkan pemeriksaan langsung, kekuatan otot klien normal dan mampu bergerak maksimal.          klien mengatakan pergerakan tulang belakang sangat terbatas (terdapat gibbus di tulang belakang sekitar torakolumbar). klien mampu berjalan-jalan dan tidak menggunakan alat bantu.
Klien mengatakan defekasi 1x sehari,klien mengatakan tidak sakit, tidak berdarah saat defekasi, klien hanya sesekali mengeluhkan nyeri saat buang air kecil karena klien mengalami pembesaran testis akibat infeksi sekunder dari TB, klien mengatakan biasanya BAK >5x sehari.
Klien tidak melanjutkan pendidikan semenjak sakit. Klien anak pertama dari empat bersaudara. Klien berhubungan baik dengan orang tua dan saudara nya terlihat dari setiap keluarga menjaga klien dengan cara bergantian. Klien cukup kooperatif dengan perawat, klien saling mengenal dan bercengkrama dengan sesama pasien satu ruangan. ibu klien mengatakan klien adalah seorang yang taat beribadah.
Berdasarkan hasil laboratorium, pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat hingga 100mm dan globulin mencapai 4,10gr/dl, albumin cenderung rendah (nilai albumin 3,30 gr/dl), klien mengalami anemia karena Hb hanya berkisar 9-10g/dl. Berdasarkan pemeriksaan hematologi klien didiagnosis mengalami anemia mikrositik hipokrom. Pada pemeriksaan MRI di tunjukkan gibbus sudah sampai menekan sumsum tulang belakang.

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
A.    Daftar Riwayat Hidup
Nama                           : Tn. I
Masuk ke RS               : 24 April 2013
Usia                             : 21 tahun
            Tanggal lahir               : 11 Juni 1992
Jenis kelamin               : laki-laki
            Agama                         : Islam
            Pekerjaaan                   : pelajar
Status                          : belum menikah
            Anak   ke-                   : satu dari empat bersaudara
            Diagnosa Medis          : Spondilitis TB

B.     Daftar Riwayat Kesehatan
RKD:
Ø  Klien memiliki riwayat tuberculosis paru pada tahun 2007 dan  menjalani pengobatan dengan OAT 9 bulan namun tidak tuntas (putus obat sekitar 7 atau 8 bulan).
Ø  3 tahun lalu sudah muncul pembengkakkan kelenjar getah bening hingga mengeluarkan nanah (disekitar leher). Sejak itu klien sakit-sakitan namun tidak pernah berobat ke RS
Ø  sekitar 3 tahun lalu klien jatuh disekolah, dan langsung tidak dapat berjalan selama 1 tahun. Selama itu klien hanya beraktivitas dirumah dengan bantuan keluarga. Setelah itu lama kelamaan terjadi pembesaran skrotum/orchitis. Pembesaran sempat pecah dan mengeluarkan darah, namun kembali membesar dan lama kelamaan terasa nyeri.
Ø  Jarak kurang lebih 3 bulan kemudian mulai muncul benjolan di tulang belakang. Pada mulanya kecil dan tidak terlalu mengganggu sehingga klien dan keluarga tidak melakukan apa-apa.
Ø  berangsur-angsur tonjolan semakin besar hingga membuat tubuh klien melengkung. Meski begitu klien dan keluarga belum  memeriksakannya ke dokter/RS, namun hanya meminum obat ramuan cina.
RKS :
Ø  klien mengatakan  kadang merasa sangat nyeri dibagian tonjolan tersebut saat digerakkan  maupun hanya disentuh, sakit bertambah ketika dibawa berjalan.
Ø  Klien mengatakan rasa nyeri hampir dirasakan setiap waktu dengan skala 2-4 dan masih bisa ditahan.
Ø  Pergerakan tulang belakang sangat terbatas karena terdapat gibbus di tulang belakang sekitar torakolumbar
Ø  Klien mengatakan mengalami pembesaran skrotum/orchitis
Ø  Berat badan klien 47 kg dengan tinggi badan 167 cm (Klien mengalami kekurangan berat badan)
Ø   
RKK :
Tidak terkaji

C.     Pengkajian Pola Gordon
            a. persepsi kesehatan dan manajemen kesehatan
·         Klien memiliki riwayat tuberculosis paru pada tahun 2007 dan  menjalani pengobatan dengan OAT 9 bulan namun tidak tuntas (putus obat sekitar 7 atau 8 bulan).
·         sekitar 3 tahun lalu sudah muncul pembengkakkan kelenjar getah bening hingga mengeluarkan nanah (disekitar leher). Sejak itu klien sakit-sakitan namun tidak pernah berobat ke RS.
·         sekitar 3 tahun lalu klien jatuh disekolah, dan langsung tidak dapat berjalan selama 1 tahun. Selama itu klien hanya beraktivitas dirumah dengan bantuan keluarga. Setelah itu lama kelamaan terjadi pembesaran skrotum/orchitis.
·         Pembesaran sempat pecah dan mengeluarkan darah, namun kembali membesar dan lama kelamaan terasa nyeri.
·         Jarak kurang lebih 3 bulan kemudian mulai muncul benjolan di tulang belakang. Pada mulanya kecil dan tidak terlalu mengganggu sehingga klien dan keluarga tidak melakukan apa-apa.
·         berangsur-angsur tonjolan semakin besar hingga membuat tubuh klien melengkung. Meski begitu klien dan keluarga belum  memeriksakannya ke dokter/RS, namun hanya meminum obat ramuan cina.
·         Hingga akhirnya klien merasa sangat nyeri dibagian tonjolan tersebut saat digerakkan  maupun hanya disentuh, sakit bertambah ketika dibawa berjalan. Rasa nyeri hampir dirasakn setiap waktu.
·         Klien memiliki riwayat merokok sejak kelas 2 SMP hingga 2 SMA.
b. Nutrisi dan Metabolic
·         Klien mampu makan sendiri sesuai dengan porsi yang diberikan diruangan
·         klien tidak ada gangguan  muntah dan mual serta tidak memiliki alergi terhadap makanan tertentu
·         klien makan 3x per hari
·         berat badan klien 47 kg dengan tinggi badan 167 cm. (termasuk golongan berat badan kurang)
c. Eliminasi
·         Klien mengatakan defekasi 1x sehari
·         Klien mengatakan tidak sakit, tidak berdarah saat defekasi.
·         klien hanya sesekali mengeluhkan nyeri saat buang air kecil karena klien mengalami pembesaran testis akibat infeksi sekunder dari TB.
·         klien mengatakan biasanya BAK >5x sehari
d. Aktivitas dan latihan
·         klien cukup mandiri dalam beraktivitas dengan keadaan tulang yang mengalami skoliosis dan kifosis, namun aktivitas klien lebih banyak dihabiskan dengan duduk di kursi atau tempat tidur karena klien tidak terlalu kuat untuk berdiri lama
·         klien sering merasa kesemutaan pada kedua ekstremitas bawah
·         Pergerakan tulang belakang sangat terbatas karena terdapat gibbus di tulang belakang sekitar torakolumbar
·         Berdasarkan pemeriksaan langsung, kekuatan otot klien normal dan mampu bergerak maksimal
·         klien mampu berjalan-jalan dan tidak menggunakan alat bantu
·         klien mengatakan merasakan nyeri hampir setiap waktu dengan skala 2-4 dan masih bisa ditahan.
e. Istirahat dan tidur
·         Klien tidak mengalami masalah kesulitan tidur
·         posisi tidur tidak mampu telentang sepenuhnya, biasanya punggung harus disangga oleh bantal
·         klien tidur dengan posisi miring atau duduk.
f. Kognitif dan Perceptual
·         klien menunjukkan status mental/tingkat kesadaran composmentis (CM).
·         reaksi pupil baik
·         klien tidak memakai alat bantu pendengaran ataupun penglihatan
g. Persepsi diri dan Konsep diri
·         klien mampu dalam beradaptasi dan sangat menerima kondisinya
·         Klien mengatakan memikirkan penyakit yang dideritanya namun cukup mampu mengatasi emosinya
·         klien mengatakan cemas dengan tindakan operasi yang akan dilakukan karena merupakan pertama kali bagi klien
h. Peran dan hubungan
·         Klien tidak melanjutkan pendidikan semenjak sakit
·          Klien anak pertama dari empat bersaudara.
·         Klien berhubungan baik dengan orang tua dan saudara nya terlihat dari setiap keluarga menjaga klien dengan cara bergantian
·          Klien cukup kooperatif dengan perawat, klien saling mengenal dan bercengkrama dengan sesama pasien satu ruangan.
            i. seksual dan reproduksi
·         Klien seorang laki – laki dan belum menikah
·         Klien mengalami pembesaran skrotum/orchitis (infeksi sekunder TB yang metastase hingga ke saluran reproduksi).
j. Koping dan toleransi stress
·         klien mampu dalam beradaptasi dan sangat menerima kondisinya
·         Klien mengatakan memikirkan penyakit yang dideritanya namun cukup mampu mengatasi emosinya
k. Nilai dan kepercayaan
·         Klien beragama islam
·         ibu klien mengatakan klien adalah seorang yang taat beribadah

D.    Pemeriksaan penunjang
Berdasarkan hasil laboratorium, pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat hingga 100mm dan globulin mencapai 4,10gr/dl, albumin cenderung rendah (nilai albumin 3,30 gr/dl), klien mengalami anemia karena Hb hanya berkisar 9-10g/dl. Berdasarkan pemeriksaan hematologi klien didiagnosis mengalami anemia mikrositik hipokrom. Pada pemeriksaan MRI di tunjukkan gibbus sudah sampai menekan sumsum tulang belakang, dimana salah satu fungsi nya adalah produksi sel darah merah


2. Diagnosa Keperawatan
a.       Nyeri kronik b.d Ketidakmampuan fisik secara terus menerus
b.      Resiko cidera b.d keterbatasan gerak dan anemia
c.       Hambatan mobilitas Fisik

3. Asuhan Keperawatan Spondilitis TB
No.
NANDA
NOC
NIC
1.
Nyeri kronik b.d Ketidakmampuan fisik secara terus menerus

Gambaran Karakteristik:
·          Menggunakan simbol ( seperti menggunakan skala nyeri)
·         Mengubah kemampuan untuk melanjutkan aktivitas terdahulu.
·         Melaporkan nyeri

1. Kontrol nyeri
Definisi: Perilaku seseorang untuk mengontrol nyeri.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x 24 jam,daya tahan pasien akan meningkat dengan indikator:

-          Dapat mengontrol nyeri.
-          Gunakan catatan nyeri
-          Melaporkan tanda/gejala nyeri pada tenaga kesehatan
-          Melaporkan bila nyeri terkontrol
-          Penggunaan non analgesic untuk mengurangi nyeri.
-           
1. Managemen nyeri
Defenisi :
Pengurangan rasa nyeri serta peningkatan kenyamanan yang bisa diterima oleh pasien

Aktivitas:
·         Lakukan penilaian nyeri secara komprehensif dimulai dari lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas dan penyebab.
·         Gunakan komunikasi yang terapeutik agar pasien dapat menyatakan pengalamannya terhadap nyeri serta dukungan dalam merespon nyeri
·         Tentukan dampak nyeri terhadap kehidupan sehari-hari (tidur, nafsu makan, aktivitas, kesadaran, mood, hubungan sosial, performance kerja dan melakukan tanggung jawab sehari-hari)
·         Bantu pasien dan keluarga mencari dan menyediakan dukungan.
·         Gunakan metoda penilaian yang berkembang untuk memonitor perubahan nyeri serta mengidentifikasi faktor aktual dan potensial dalam mempercepat penyembuhan
·         Tentukan tingkat kebutuhan pasien yang dapat memberikan kenyamanan pada pasien dan rencana keperawatan
·         Menyediakan informasi tentang nyeri, contohnya penyebab nyeri, bagaimana kejadiannya, mengantisipasi ketidaknyamanan terhadap prosedur
·         Kontrol faktor lingkungan  yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien (suhu ruangan, pencahayaan, keributan)
·         Ajari untuk menggunakan tehnik non-farmakologi (spt: biofeddback, TENS, hypnosis, relaksasi, terapi musik, distraksi, terapi bermain, acupressure, apikasi hangat/dingin, dan pijatan ) sebelum, sesudah dan jika memungkinkan, selama puncak nyeri , sebelum nyeri terjadi atau meningkat, dan sepanjang nyeri itu masih terukur.
·         Pastikan pasien mendapatkan perawatan  dengan analgesic

2.Administrasi Analgesik.
Defenisi  :
Penggunaan agen farmakologi untuk menghentikan atau mengurangi nyeri.
Aktivitas :
·         tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
·         cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi
·         cek riwayat alergi
·         pilih analgetik yang diperlukan atau kombinasi dari analgetik ketika pemberian lebih dari satu
·         monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgetik pertama kali
·         berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
·         evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala (efek samping)
·         mengelola analgesic sekitar jam untuk mencegah puncak dan melalui analgesia, terutama dengan sakit parah
·         Mengevaluasi efektivitas analgesic pada interval yang sering rutin setelah setiap administrasi, tetapi terutama setelah dosis awal, juga mengamati untuk tanda-tanda dan gejala efek tak diinginkan (misalnya, depresi pernapasan, mual dan muntah, mulut kering, dan sembelit)

2.
Resiko Cidera
Faktor resiko:
  • Darah yang abnormal (leukositosis atau leukopenia, perubahan faktor penggumpalan darah, trombosiopenia, sel berbentuk bulan sabit, thalasemia, menurunnya kadar hemoglobin)
  • Fisik (desain, struktur, dan penataan komunitas, bangunan, dan /perlengkapan)
  • Biologis ( tingkat imunisasi komunitas, mikroorganisme)
  • Penyakit imun / autoimun

Perilaku pencegahan jatuh
Definisi:
Tindakan pasien atau  keluarga untuk meminimalkan faktor resiko jatuh di lingkungan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x 24 jam,daya tahan pasien akan meningkat dengan indikator:
-          Menggunakan handrail jika dibutuhkan
-          Sediakan bantuan
-          Penggunaan alat bantu dengan benar
-          Kontrol kelemahan

Pencegahan Pasien Jatuh
Definisi:
Tindakan pencegahan khusus untuk pasien dengan resiko luka karena terjatuh.
Aktivitas:
·         Identifikasi kelemahan kognitif atau fisik pasien yang dapat meningkatkan kemungkinan jatuh pada lingkungan tertentu
·         Identifikasi perilaku dan faktor – faktor yang beresiko menyebabkan jatuh
·         Kaji pengalaman jatuh bersama pasien dan keluarga
·         Identifikasi karakteristik lingkungan yang dapat menigkatkan kemungkinan jatuh (seperti lantai yang licin)
·         Monitor cara berjalan, keseimbangan, dan tingkat kelelahan klien saat berjalan
·         Latih pasien untuk beradaptasi dengan perubahan cara berjalan
·         Kunci roda pada kursi roda atau tempat tidur saat akan memindahkan pasien
·         Monitor kemampuan berpindah pasien dari tempat tidur ke kursi
·         Gunakan pembatas pada sisi tempat tidur untuk mencegah pasien jatuh dari tempat tidur, jika diperlukan
·         Sediakan alat pemanggil bagi pasien yang memerlukan bantuan (seperti bel atau cahaya lampu) jika perawat sedang tidak berada di dekat pasien
·         Bantu pasien mencari kegiatan yang aman untuk menghabiskan waktu luang
  • Pasang tanda untuk memberi tahu staf lain bahwa pasien beresiko tinggi terjatuh

4. Evaluasi Tindakan Keperawatan
     A. Nyeri kronik b.d Ketidakmampuan fisik secara terus menerus
S: Klien mengeluhkan nyeri yang dirasakan setiap waktu dengan skala 2-4
Klien mengatakan terkadang nyeri sangat hebat di bagian pembesaran skrotum.
O: klien tampak meringis
A: Masalah teratasi
P: lanjut ke pelaksanaan diagnosa selanjutnya
     B. Resiko cidera b.d keterbatasan gerak dan anemia
            S: klien mengatakan pergerakkan tulang belakang terbatas (terdapat gibbus)
            O: tulang belakang klien terlihat melengkung sehingga klien membungkuk
            A: Masalah teratasi
            P: lanjut ke pelaksanaan diagnosa selanjutnya




















BAB IV
PEMBAHASAN JURNAL

Judul Jurnal: COMPARISON OF EXTRAPLEURAL ANTEROLATERAL DECOMPRESSION AND TRANSTHORACIC ANTERIOR DECOMPRESSION FOR TUBERCULOSIS OF THE DORSAL SPINE
Penulis : Navin KumarKarn, Ranjeev Jha, PrakashSitoula, MahipalSingh, Anil Kumar Jain
Publikasi : -
Penelaah : Kelompok 1 Mata Kuliah Keperawatan Komunitas II, Fakultas Keperawatan, Universitas Andalas
Tanggal Telaah: 17 Agustus 2015
I. Deskripsi Jurnal
1. Tujuan Utama Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membandingkan dekompresi anterolateral extrapleural dan dekompresi anterior transthoracic untuk TB punggung tulang belakang.

2. Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 60 pasien yang tersisa setelah pengecualian. Kami menemukan durasi operasi, jumlah kehilangan darah secara signifikan lebih tinggi pada kelompok dekompresi anterior transthoracic. Ada satu kasus infeksi luka (3,3%) pada kelompok dekompresi anterior transthoracic. 3 kasus dekompresi anterior transthoracic harus mengkonversi ke dekompresi anterolateral karena adhesi pleura paru-paru. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pemulihan neurologis dan pengembangan deformitas kyphotic.

3. Kesimpulan Penelitian

Ditemukan bahwa dekompresi anterolateral melakukan lebih baik daripada dekompresi anterior transthoracic dalam hal durasi operasi, jumlah kehilangan darah, morbiditas pasca operasi tetapi tingkat pemulihan neurologis yang sama.

II. Telaah Jurnal
A. Fokus Utama Penelitian
Fokus utama penelitian di dadasarkan pada durasi operasi, jumlah kehilangan darah, pemulihan neurologis dan tingkat komplikasi.
B. Elemen yang Mempengaruhi Tingkat Kepercayaan Suatu Penelitian
1. Gaya penulisan
a. Sistematika penulisan
Sitematika penulisan yang digunakan pada jurnal yang kita analisis sudah cukup bagus. Sudah mencakup hal-hal yang harus ada pada sistem penulisan jurnal. Diantaranya judul artikel, nama penulis, abstrak, pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan, kesimpulan, serta yang terakhir daftar pustaka.
b. Tata bahasa
Tata bahasa yang digunakan pada penulisan jurnal yang berjudul Comparison of Extrapleural Anterolateral Decompression and Transthoracic Anterior Decompression for Tuberculosis of The Dorsal Spine ini sudah baik, karena pembaca sudah bisa menangkap isi yang ditulis.
2. Penulis
a. Kualifikasi penulis
Penulis dalam jurnal ini sudah expert di bidangnya, terbukti dengan alamat yang disertakan dibawahnya (Associate Professor Department of Orthopaedics Nobel Medical College & Teaching Hospital, Biratnagar, Nepal).
3. Judul
a. Kelebihan
Judul yang digunakan cukup menarik sehingga mendorong pembaca untuk mengetahui lebih lanjut mengenai isi jurnal
b. Kekurangan
Judul yang digunakan bahasanya terlalu ilmiah. Jadi, hanya kalangan tertentu yang bisa memahaminya, umumnya tenaga kesehatan.
4. Abstrak
a. Kelebihan
Abstrak yang ditulis jelas, karena sudah menunjukkan data dari hasil penelitian. Selain itu, abstrak ini mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca.
b. Kekurangan

Dalam abstrak ini belum dijelaskan secara mendalam tentang sebab dari masalah yang ditulis pada artikel jurnal.

C. Elemen yang Mempengaruhi Kekuatan Suatu Penelitian
1. Masalah dan Tujuan Penelitian
a. Masalah Penelitian
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini sudah sesuai dengan topik bahasan, yaitu masalah pendekatan anterolateral extrapleural untuk TB punggung tulang belakang.
b. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian telah sesuai dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu menilai efek dari dekompresi anterolateral extrapleural untuk TB punggung tulang belakang dan membandingkannya dengan melakukan penilaian juga terhadap efek an dekompresi anterior transthoracic. Juga ntuk membandingkan durasi operasi, jumlah kehilangan darah, pemulihan neurologis dan tingkat komplikasi.

2. Sistematika penulisan
Sistematika penulisan jurnal penelitian ini cukup sistematis, runtut, dan padu. Hampir tidak ada bagian yang terputus, karena antar bagian dalam jurnal saling berhubungan satu sama lain. Penulisan jurnal penelitian ini juga telah memenuhi kriteria logis dan konsisten.

3. Kerangka teori
Jurnal yang berisi hasil riset ini telah mengintegrasikan berbagai macam teori untuk membahas hasil penelitian, sehingga hasil penelitian tentang dekompresi anterolateral extrapleural untuk TB punggung tulang belakang yang dibahas dalam riset ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Alur pikir peneliti juga dengan cukup bagus dipaparkan dan diperkuat dengan beberapa teori dan riset sebelumnya.

4. Sasaran
Sasaran pada penelitian sudah jelas yaitu ditujukan untuk pengembangan ilmu medis atau kesehatan dan dapat secara langsung diketahui oleh pembaca hanya dengan membaca judul pada review artikel tersebut yaitu “Comparison of Extrapleural Anterolateral Decompression and Transthoracic Anterior Decompression for Tuberculosis of The Dorsal Spine”.

5. Definisi operasional
Dalam jurnal, peneliti telah menjelaskan dengan baik mengenai material dan metode mulai dari mencari strategi dan memperoleh sampel. Selain itu juga dijelaskan tahapan-tahapan melakukan penelitian yang dilakukan terhadap beberapa pasien

6. Data analisis/hasil
a. Analisis statistik yang digunakan
Analisis statistik Data yang dimasukkan menggunakan Microsoft EXCEL versi 8 (Microsoft Corporation, Redmond, Washington). Keberhasilan pengacakan diuji dengan membandingkan variabel deskriptif seperti usia, jenis kelamin, parameter hematologi, neurologi deficeit dll Setiap perbedaan diukur sebagai perbedaan antara sarana pada kedua kelompok. Signifikansi perbedaan ini diukur dengan menggunakan analisis parametrik dari varians (ANOVA) atau uji non-parametrik Kruskall-Wallis berasal dari program komputer Epi Info (Lingkungan Sistem Research Inc, New Delhi, India)

b. Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa  Kehilangan darah dan durasi operasi secara signifikan lebih tinggi pada kelompok transthoracic. 21 pasien dalam kelompok anterolateral extrapleural dan 20 pasien di transthoracic kelompok transpleural menunjukkan pemulihan neurologis dalam waktu 6 minggu operasi. Semua pasien yang tidak bisa menunjukkan pemulihan neurologis dalam 6 minggu operasi menjalani myelography yang mengungkapkan tidak ada blok. Hal ini menunjukkan bahwa dekompresi bedah yang memadai telah tercapai. 3 pasien dalam kelompok anterolateral extrapleural dan 2 pasien dalam kelompok anterior transthoracic menunjukkan tanda pertama pemulihan neurologis pada 3 bulan. 2 pasien dalam kelompok anterolateral dan 2 pasien dalam kelompok transthoracic tidak menunjukkan pemulihan neurologis. Pada akhir satu tahun tidak ada perubahan yang signifikan dalam kyphosis. Satu pasien dalam kelompok transthoracic telah luka dehiscence yang debridement itu selesai diikuti oleh penjahitan sekunder.
Kesimpulannya, faktor yang menentukan untuk pendekatan tertentu yang preferensi, keterampilan teknis ahli bedah, ketersediaan fasilitas perawatan bedah dan intensif dan cadangan paru dari patient.We ditemukan dekompresi anterolateral melakukan lebih baik daripada dekompresi anterior transthoracic dalam hal durasi operasi, jumlah kehilangan darah, morbiditas pasca operasi tetapi tingkat pemulihan neurologis yang sama.
Pembahasan temuan hasil penelitian
a. Kelebihan
- Dalam penelitian ini hasil dari setiap penelitian dalam telah dijelaskan secara rinci dan sistematis. Penelitian telah jelas mengungkapkan populasi yang diteliti, kelompok pembandig dan hasil akhir dari penelitian.
- Isi dari jurnal serta cara penulisannya sudah relevan dengan kaidah penulisan jurnal ilmiah. Pembahasan dalam jurnal juga sesuai dengan tema yang diangkat.
- Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data resmi dan dapat dipertanggung jawabkan
b. Kekurangan
- Pada jurnal tidak dicantumkan tahun terbit dan kapan jurnal tersebut dipublikasikan.

















BAB V
PENUTUP


1. Kesimpulan
·         Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstra pulmonal yang bersifat kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosa.
·         Prognosis dari spondilitis tuberkulosa bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan ada tidaknya komplikasi neurologis.
  • Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis yaitu, Peridiskal / paradiskal, Sentral, Anterior dan Bentuk atipikal
  • Manifestasi klinis pada spondilitis TB yaitu, sakit (kaku) pada punggung, pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari, pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal, deformitas pada punggung (gibbus), pembengkakan setempat (abses), paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf.
·         Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu, Pott’s paraplegia, ruptur abses paravertebra, cedera corda spinalis (spinal cord injury).
·         Penatalaksanaan yang dapat dilakukan terbagi dua diantaranya terapi konservatif dan terapi operatif.







Daftar Pustaka

Syaifuddin.2009.Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa           Keperawatan. Jakarta:EGC.
Nanda. (2012) Nursing Diagnoses: Definitions and Classification (NANDA) 2012-2014. Willey-Blackwell.
Bulechek,Gloria M.. (et al.).2008. Nursing Intervention Classification (NIC) 6th edition. Elsevier.
Moorhead, sue.2008. Nursing outcome Classification (NOC) 5th edition. Elsevier.
              http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351541-PR-Marhamatunnisa.pdf kasus spondilitis TB pdf.
              http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28161/5/Chapter%20I.pdf.

1 komentar:

  1. The titanium teeth dog slot machine - iGaming experience
    This titanium 4000 free 2018 ford fusion energi titanium slot machine offers you two unique features, two unique features, titanium mens wedding bands and two titanium wedding band sets unique bonus features. The first, the second and the third feature, titanium dab tool

    BalasHapus